Suatu sore yang lengket, saya bersama rekan
Ampoen El David menyisir kota Banda Aceh dari arah barat. Kami berkeinginan
membuat foto cerita (photo story)
tentang perjuangan seorang perempuan bertahan hidup sebagai pengrajin rotan di sebuah desa Aceh Besar. Perjalanan terhenti
ketika sisi langit berarak hitam memayungi daerah tujuan kami. Hujan lebat akan
segera turun. Saya dan Ampoen berputar arah
menuju arah Kota Banda Aceh. Perjalanan pun terhenti di Museum Tsunami
Aceh. Diluar Museum terlihat beberapa pedagang kaki lima membereskan dagangaan,
merapikan meja dan menutup payung. Saya mendekat lalu membeli beberapa santapan
ringan untuk dibawa kedalam. Beberapa
pengunjung museum terlihat sedang bersantap ria di bahu jalan. Mereka mendatangi
kios kecil penjual pinggir jalan karena mudah dan murah. Saat hujan turun
mereka berlari ke bangunan museum untuk berlindung menghidari basah. Sore yang penuh dengan
teka-teki.
Saya dan Ampoen
bergegas masuk kedalam gedung sembari membuka tas kamera yang kami punya. Saya sedikit terkejut saat ia mengatakan bahwa ini adalah
kali pertama berada di museum. Hampir genap 14 tahun museum ini berdiri megah
di jantung kota Banda Aceh. Museum tsunami Aceh bukanlah tempat baru, ia telah menjelma
menjadi ikon Aceh kedua setelah Masjid
Raya Baiturrahman. Museum yang dibangun pada tahun 2009 ini sengaja di rancang
sebagai monumen simbolis untuk bencana gempa dan tsunami Samudra Hindia 2004
lalu, dan juga sekaligus sebagai pusat pendidikan dan tempat perlindungan
darurat andai tsunami terjadi lagi.
Bangunan
seluas 2.500 m2 ini rancang oleh Ridwan Kamil, dengan corak dan
tekstur bangunan tetap mempertahankan budaya, seni dan kearifan lokal yang ada
di Aceh. Dinding museum dihiasi gambar orang-orang menari saman, sebuah
simbolis terhadap kekuatan, disiplin dan
keagamaan. Atapnya menyerupai
gelombang laut. Sementara lantai dasar dirancang mirip rumah panggung
tradisional aceh. Selain itu, bangunan ini juga didedikasikan atas
representatif untuk memperingati para korban
dan masyarakat yang selamat dari gelombang maha dahsyat saat itu.
Didalam gedung
saya mencoba mengamati bangunan dan pergerakan pengunjung. Mengendap ke
berbagai sudut dan mempelajari setiap tanda dan filosofi bangunan ini. Saya
membuatnya kedalam bentuk foto cerita.
***
|
Salah satu kamar tempat pengambilan tiket masuk sepi karena pihak museum menggratiskan uang masuk ke setiap pengunjung |
|
Pengunjung sedang berswafoto depan papan establish museum |
|
Pengunjung melihat salah satu rangka helikopter bekas peninggalan tsunami aceh yang terpajang dihalaman depan pintu masuk. |
|
Lorong gelap dengan tembok tinggi dan basah saat memasuki museum memperlihatkan nuansa begitu gelap dan tingginya gelombang pada saat itu. Di ruangan itu juga terdengar lantunan ayat suci hingga menuju ke ruangan selanjutnya. |
|
Ruangan yang menampilkan foto-foto tsunami dan korbannya serta dampak kerusakan yang ditimbulkan |
|
Pengunjung melihat slide gambar di ruang panel |
|
Display memorial |
|
Nama-nama korban tsunami Aceh |
|
Sebagian korban ada yang terdata dan ditemukan yang berhasil diidentifikasi nama mereka di tampilkan diruangan ini. |
|
Salah satu sudut sebelum menuju jembatan harapan (rekonsliasi) |
|
Pengunjung berjalan disalah satu lorong menuju ruang bekas peninggalan benda tsunami dan ruang kreatif. |
|
Selfie |
|
Miniatur Museum |
|
Jembatan harapan |
|
Jembatan harapan |
|
Jembatan Harapan |
|
Pengunjung berada di ruang kreatif |
|
Map |
|
Jendela dalam gedung |
|
Para negara donatur |
|
Desain museum nan kreatif |
|
Menikmati sore di museum |
|
Halaman depan museum |
Setelah dua jam menjelajah isi gedung, akhirnya datang rasa capek dan haus hingga menyudahi ekplorasi sore itu. Banyak hal menarik terekam saat dilapangan. Saya berkeinginan bertahan lebih lama memaksimalkan rekaman potongan imaji kedalam sebuah gambar nan menarik. Petugas gedung memberi imbauan waktu kunjungan telah usai (pukul: 18.00 wib). Sebagian orang bergerak turun menggunakan tangga sementara elevator hanya tersedia bagi panyandang disabilitas. Hujan telah pergi, kendaraan di jalan kembali riuh. Orang – orang bergerak menuju pulang begitupun kami.
(Foto dan Teks : Ikbal Fanika)
0 komentar